Jakarta, bisabasi.id – Baik pemerintah, pelaku usaha hingga organisasi masyarakat mulai peduli dan bergerak melakukan berbagai upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan bertransisi menuju masa depan yang lebih berkelanjutan. Di tengah meningkatnya penekanan global untuk mengatasi perubahan iklim, Indonesia juga mulai mengambil langkah. Salah satu upaya yang tengah dijalankan oleh Indonesia adalah pemberlakuan regulasi OJK terkait bursa karbon. Peraturan No. 14 tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon (POJK Bursa Karbon) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah disahkan pada bulan Agustus 2023 lalu dengan menguraikan prosedur operasional Bursa Karbon dan menetapkan kerangka kerja untuk kegiatan perdagangan karbon di Indonesia.
Pada 26 September lalu, Presiden Jokowi telah resmi meluncurkan Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon). Upaya regulasi POJK ini berasal dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), yang disahkan pada bulan Januari lalu dan mengamanatkan pengaturan lebih lanjut tentang perdagangan karbon melalui Bursa Karbon. Dengan situasi perekonomian dan lingkungan saat ini yang sudah mulai berfokus pada keberlanjutan, salah satu lembaga akuntan internasional yang juga memiliki perwakilan di Indonesia, The Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW) melihat bahwa kebijakan dari POJK Bursa Karbon ini dapat membantu dalam menggenjot keberhasilan implementasi peraturan yang sudah ada.
Julian Smith, ESG, Government & Infrastructure Leader di PwC Indonesia sekaligus merupakan seorang ICAEW Chartered Accountant, turut memberi pandangannya terkait dimulainya kebijakan bursa karbon, “Dari sisi pasokan, sektor kehutanan merupakan kontributor penting dalam menyumbang Unit Karbon, karena memiliki potensi besar untuk menghasilkan kredit karbon melalui berbagai inisiatif mitigasi. Kredit-kredit ini kemudian dapat diperdagangkan sebagai kompensasi emisi di Bursa Karbon. Di sisi permintaan, produsen listrik yang menggunakan bakar batubara kini diwajibkan untuk mengurangi emisi sebesar 25 persen pada tahun 2030 dari emisi awal mereka. Hal ini mendorong mereka untuk mengevaluasi strategi paling efektif secara biaya, baik melalui pembelian kredit karbon dari Bursa Karbon atau dengan mengubah cara operasional mereka untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.”
Perdagangan karbon adalah pembelian dan penjualan kredit atas pengeluaran karbon dioksida atau gas rumah kaca. Sementara kredit karbon adalah representasi dari ‘hak’ bagi sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca lainnya dalam proses industrinya. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi satu ton karbondioksida (CO2). Sedangkan Bursa Karbon adalah sistem yang mengatur perdagangan atau catatan kepemilikan unit karbon dengan tujuan utama menciptakan insentif bagi perusahaan dan negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cara menyediakan mekanisme untuk membeli dan menjual izin emisi atau kredit karbon.
Menariknya, beberapa kawasan dan negara selain Indonesia telah memulai lebih dulu dalam penerapan kebijakan POJK Bursa Karbon ini. Kawasan Uni Eropa sendiri telah menerapkan kebijakan Bursa Karbon sejak tahun 2005 dan menjadi sistem perdagangan emisi pertama di dunia. Uni Eropa bahkan dinilai berhasil menerapkan kebijakan ini, di mana sebelum 2021 pasar karbon Uni Eropa berhasil menyumbang lebih dari 75 persen perdagangan karbon internasional. Di tahun 2019, Bursa Karbon Uni Eropa mampu mengurangi hingga 24 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990.
POJK Bursa Karbon merupakan langkah penting yang diambil oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim dengan mengatur perdagangan karbon melalui bursa karbon khusus. ICAEW mengakui pentingnya inisiatif tersebut dalam mencapai tujuan iklim global, terutama sejalan dengan komitmen yang dibuat di bawah Perjanjian Paris. Kerangka hukum untuk perdagangan karbon melalui Bursa Karbon ini diharapkan dapat menjadi landasan kegiatan perdagangan karbon bagi berbagai pemangku kepentingan, termasuk lembaga pemerintah terkait, operator Bursa Karbon, pelaku usaha, pengguna jasa Bursa Karbon, dan pihak-pihak terkait lainnya.
Mengatur pasar karbon merupakan hal penting untuk meningkatkan transparansi, kredibilitas, dan membantu memberikan insentif kepada perusahaan untuk mengurangi emisinya. Namun, hal ini merupakan langkah awal dari berbagai langkah kebijakan iklim yang harus dilakukan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Karena itu, POJK Bursa Karbon menjadi langkah penting dalam mempersiapkan kerangka hukum domestik untuk mencapai target pengurangan emisi yang terarah dan tidak menitikberatkan pada pihak-pihak tertentu saja.
Terdapat beberapa ketentuan penting yang dimuat dalam aturan POJK Bursa Karbon, di antaranya adalah aturan tentang unit karbon yang diperdagangkan di Bursa Karbon merupakan sekuritas yang harus terlebih dahulu didaftarkan di Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) dan disetujui oleh operator Bursa Karbon. Entitas yang memenuhi syarat untuk beroperasi sebagai Bursa Karbon harus memiliki izin penyelenggara pasar yang sah yang dikeluarkan oleh OJK. Sedangkan aturan soal persyaratan modal minimum menyebut bahwa penyelenggara Bursa Karbon wajib memiliki modal disetor minimum sebesar Rp 100 miliar dan dilarang mengandalkan pinjaman.
“Bursa Karbon sendiri dapat beroperasi bersama dengan mekanisme penetapan harga karbon lainnya, termasuk sistem batas emisi dan perdagangan karbon, serta batas emisi dan pajak. Hal ini memastikan bahwa pasar menentukan harga unit karbon berdasarkan penawaran dan permintaan, seperti dinamika pasar tradisional. Selain itu, tren yang tengah berkembang di kalangan lembaga keuangan dan investor adalah mendukung inisiatif keberlanjutan dan pencapaian net zero emission, sehingga mendorong perusahaan untuk memprioritaskan dan mengintegrasikan inisiatif keberlanjutan dan karbon ke dalam strategi inti bisnis,” tambah Julian.
Conny Siahaan, ICAEW Head of Indonesia, turut menggaris bawahi peran aktif Indonesia dalam kebijakan ini. “ICAEW mengapresiasi inisiatif proaktif Indonesia terhadap komitmen NDC melalui peraturan tentang Bursa Karbon ini. Karena risiko iklim masih menjadi tantangan utama bagi dunia bisnis, kami percaya bahwa para Chartered Accountants akan memainkan peran penting dalam memastikan transisi yang berkelanjutan. Tonggak sejarah peraturan ini menggarisbawahi pentingnya menyelaraskan keahlian keuangan dengan tujuan keberlanjutan untuk masa depan yang lebih hijau. Selain itu, potensi besar Indonesia untuk menjadi pemain kunci di pasar karbon semakin mengukuhkan peran penting Indonesia dalam membentuk lanskap ekonomi berkelanjutan secara global.”